Food Estate dan Ancaman Krisis Pangan di Saat Pandemi

Jakarta, Beritasatu.com – Ancaman krisis pangan menjadi salah satu fenomena yang disorot dalam pertemuan G20 di Italia pada akhir Juni 2021 lalu. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi yang hadir dalam pertemuan tersebut memberikan pernyataan terbuka bahwa pandemi telah menciptakan situasi yang lebih sulit bagi upaya menciptakan ketahanan pangan dan jika tidak segera diatasi, maka akan menciptakan masalah kesehatan dan harapan hidup.

Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) telah mengingatkan potensi terjadinya krisis pangan akibat terganggunya ketersediaan, stabilitas, dan akses pangan khususnya bagi masyarakat rentan secara ekonomi dan geografi.

Strategi food estate atau program lumbung pangan nasional merupakan sebuah konsep pengembangan pangan yang terintegrasi dengan pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan. Strategi ini merupakan usaha dari Pemerintah Indonesia dalam menanggapi potensi dari ancaman krisis pangan.

Anggaran sebesar Rp 104,2 triliun telah disiapkan oleh Presiden Joko Widodo untuk sektor ketahanan pangan di tahun 2021, salah satunya untuk proyek food estate. Proyek ini sendiri sudah dimulai sejak tahun 2020 di lahan bekas pengembangan lahan gambut (PLG). Adapun dari proyek itu sudah berjalan seluas 30.000 hektare dari target yaitu 70.661 hektare di Kalimantan Tengah.

Langkah yang diambil oleh pemerintah untuk meneruskan program food estate mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak seperti penggiat lingkungan dan pakar gizi.

Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut dalam tanggapannya menilai respons pemerintah tidak tepat dalam menjawab kekhawatiran krisis pangan melalui food estate.

“Permasalahan terletak pada distribusi dan pemasaran produk pertanian akibat pandemi, bukan ketersediaannya. Justru kekhawatiran dari banyak pihak semakin besar mengingat hal ini akan mengulang kegagalan banyak program food estate masa lalu, apalagi di Kalimantan Tengah yang menggunakan lahan bekas Proyek Lahan Gambut (PLG),” kata Iola dalam keterangannya yang diterima Beritasatu.com, Minggu (11/7/2021).

Food estate atau program lumbung pangan sebenarnya sudah pernah dijalankan di era pemerintahan sebelumnya. Kegagalan ini dimulai dari zaman Orde Baru yang menyebabkan rusaknya 1,4 juta hektare gambut sehingga kehilangan fungsinya sebagai tandon air. Fungsi dari gambut sebagai tandon air ini penting karena dapat menyerap air di musim penghujan dan mengalirkan kembali saat kemarau datang.

Selain itu, pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono, kegagalan juga terjadi pada program pencetakan sawah pada 1,2 juta hektare hutan di Kota Merauke, Papua.

Pegiat lingkungan lainnya, Bustar Maitar, pendiri dan CEO Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa Foundation), mengatakan seharusnya pengembangan produksi pangan bisa dilakukan tanpa merusak ekosistem. Pemerintah, kata Bustar, seharusnya bisa melaksanakan program pengembangan dari produksi pangan dengan tetap mempertahankan ekosistem yang ada.

Sampai saat ini, di Merauke, lahan dari food estate belum juga selesai namun penebangan hutan terus berjalan. “Ada cara yang dapat dilakukan di Papua bisa melalui intensifikasi pada lahan sawah daerah transmigran yang dapat dimaksimalkan produktivitasnya dan tidak harus membuka lahan baru,” kata Bustar.

Masyarakat berhak untuk mendapatkan pemenuhan gizi dan ketahanan pangan seharusnya ditujukan untuk memastikan bahwa hak tersebut terpenuhi. Food & Nutrition Scientist, Mulia Nurhasan dalam menyebutkan bahwa ada dua aspek ketahanan pangan baru yang diusulkan oleh pakar ketahanan pangan dan gizi dalam High level panel of experts on food security and nutrition (HLPE) 2020, yaitu sustainability (keberlanjutan) dan agency (keberdayaan).

Berdasarkan hasil studi Center for International Forestry Research (Cifor) menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di perhutanan lebih banyak mengonsumsi sayur dan ikan. Berbeda dengan daerah deforestasi tinggi yang lebih banyak mengonsumsi pangan olahan dan minuman manis.

“Tingginya konsumsi pangan olahan, khususnya pangan ultra-proses dan minuman manis dapat menyebabkan naiknya angka penyakit tidak menular, seperti diabetes, darah tinggi, stroke, dan lainnya,” jelasnya.

“Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan pangan yang top down, sekaligus menghindari fokus yang berlebihan pada produksi beras. Kebijakan pangan yang mempertimbangkan keberdayaan masyarakat lokal dan mengedepankan desentralisasi sistem pangan, bisa meningkatkan ketahanan pangan dan gizi secara berkelanjutan,” katanya.

Ada satu contoh desentralisasi pangan yang dilakukan masyarakat lokal yakni pada tahun 2018, EcoNusa melaksanakan program kemandirian pangan di tiga daerah di Maluku Utara yaitu Gane, Posi-posi, dan Samo. Di pertengahan tahun 2019, Econusa melakukan penanaman padi bersama dengan penduduk setempat. Sekitar 50 ton gabah berhasil dipanen pada akhir tahun.

“Walaupun distribusi logistik tidak bisa diterima saat terjadinya pandemi di bulan Maret 2020 di daerah Gane, Posi-posi dan Samo, pasokan pangan yang telah tersedia dan masyarakatnya tetap merasa aman,” tutup Bustar.