Jokowi Bersiap Hadapi Ancaman Krisis Pangan Global

Presiden Joko Widodo mengatakan ancaman krisis pangan global sudah di depan mata. Hal ini, katanya, sudah terlihat dari harga pangan dunia yang mulai merangkak naik.

Peringatan akan hal ini, kata Jokowi, juga telah disampaikan Badan Pangan Dunia (FAO) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Untuk mengatasi dampak dari krisis tersebut, pemerintah berencana melakukan diversifikasi pangan. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini ingin agar lebih banyak alternatif bahan pangan yang bisa ditanam dan diproduksi di Tanah Air, yang salah satunya adalah sorgum.

“Tidak hanya tergantung pada beras karena kita memiliki jagung, sagu, dan juga sebetulnya tanaman lama kita adalah sorgum. Sudah dicoba di Kabupaten Sumba Timur, seluas 60 hektare, dan kita melihat sendiri hasilnya sangat baik, secara keekonomian juga masuk,” ungkapnya saat menyaksikan panen sorgum bersama Ibu Iriana Negara Joko Widodo di PT Sorghum Indonesia, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kamis (2/6).

Lebih lanjut, Jokowi menjelaskan sejauh ini, produksi pangan sorgum cukup menguntungkan, yakni sekitar Rp50 juta per hektare dalam satu tahun. Selain itu, satu hektare bisa menghasilkan minimal lima ton sorgum.

“Jadi per bulan sudah mencapai kurang lebih Rp4 jutaan. Ini sebuah hasil yang tidak kecil,” tuturnya.

Jokowi meyakini, jika budi daya sorgum dapat dikelola dengan baik maka upaya itu akan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan seperti gandum. Apalagi, sorgum ini tumbuh dengan cukup baik dan subur di Sumba Timur, NTT.

“Kita ingin setelah dari uji coba ini, ketika sudah ketemu kendalanya, apa kita akan perbesar tanaman sorgum di NTT dengan harapan kita memiliki alternatif pangan dalam rangka menghadapi krisis pangan dunia. Kalau berlebih ada stok, tidak apa-apa, justru itu yang ingin kita ekspor dan akan menghasilkan devisa bagi negara,” paparnya.

Edukasi dan Sosialisasi

Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira mengungkapkan diversifikasi pangan bisa dilakukan sebagai strategi jangka panjang dalam menghadapi ancaman krisis pangan global.

Meski begitu, upaya tersebut menghadapi sejumlah kendala, seperti masih tingginya kuota impor bahan pangan. Menurutnya, selama impor pangan masih tinggi, hal tersebut merupakan disinsentif bagi para petani lokal untuk mengembangkan pangan alternatif.

“Jadi berbeda misalnya dengan beras, di mana beras itu ada kepastian harga dari Bulog, ada stabilisasi harga pembelian gabah, sementara kalau sorgum belum ada,” ungkap Bhima kepada VOA.

Ia juga menilai baik dari skala produksi maupun inovasi, bahan pangan sorgum belum bisa menandingi beras. Maka dari itu menurutnya dibutuhkan peran Bulog untuk bisa menyerap hasil produk pangan lokal ini

Lebih jauh, Bhima menjelaskan tantangan lain yang tidak kalah berat adalah terkait edukasi dan sosialisasi produk pangan lokal agar bisa diterima bukan hanya oleh masyarakat setempat, tetapi merata di seluruh pelosok Tanah Air.

“Sekarang sudah muncul kampanye dan edukasi, tapi mungkin belum terlalu masif, misalnya tentang bagaimana pangan lokal bisa rendah kalori, bisa rendah gula dan ini bagus untuk pengidap diabetes. Bahkan untuk anak-anak muda yang sebagian mengkonsumsi pangan seperti terigu, atau berbahan dasar tepung itu kan kandungan natriumnya juga tinggi, dan mungkin itu bisa direduksi dengan kampanye dan edukasi secara terus menerus,” jelasnya.

Senada dengan Jokowi, Bhima juga melihat bahwa krisis pangan sudah mulai terjadi. Ia mencontohkan India yang terkenal dengan produksi gandum dan gula mulai membatasi ekspor pangan. Selain itu, perang Rusia-Ukraina yang belum mereda tentu bisa berdampak luas terhadap stabilitas pangan termasuk di dalam negeri.

Adapun strategi jangka pendek yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah fokus melakukan intensifikasi produksi beras, mengingat luasan lahan panen untuk beras atau gabah turun dua persen sepanjang 2021.

Selain itu, konektivitas antarwilayah harus segera diperbaiki oleh pemerintah, agar rantai distribusi dan harga pangan bisa merata di seluruh pelosok Tanah Air.

“Dan tentunya terkait dengan jaring pengaman sosial ini masih diperlukan bagi 40 persen kelompok pengeluaran yang paling bawah yang memang masih membutuhkan bantuan pemerintah,” katanya.

Apabila krisis pangan ini tidak diantisipasi dengan baik, kata Bhima, maka bukan tidak mungkin bahwa krisis itu bisa mengganggu pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19 yang mulai membaik.

“Saat ini terlihat ada anomali. Harusnya pasca lebaran inflasi mulai mengalami penurunan bahkan deflasi kalau tahun lalu, tapi sekarang ini per Mei inflasi mulai meningkat. Artinya pasca lebaran permintaannya mungkin masih rendah tapi dari sisi cost atau biaya produksi pangan mulai naik,” kata Direktur CELIOS itu.

“Jadi ini yang perlu diperhatikan karena efek dari inflasi selain menekan daya beli, bisa meningkatkan jumlah penduduk rentan miskin dan juga bisa mempercepat kenaikan tingkat suku bunga yang akan berdampak bagi masyarakat luas, maupun ke pelaku usaha,” pungkasnya. [gi/lt]

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/jokowi-bersiap-hadapi-ancaman-krisis-pangan-global/6600099.html