Jakarta, CNBC Indonesia -Komoditas bawang putih merupakan salah satu rempah penting yang banyak digunakan oleh Masyarakat Indonesia sebagai bumbu masakan. Dengan perannya yang begitu penting, maka ketersediaan stok bawang putih menjadi persoalan yang harus diperhatikan.
Hingga kini, pemenuhan kebutuhan bawang putih masih dipenuhi dengan impor yang cukup besar. Memang ada beberapa hal yang menyebabkan Indonesia melakukan impor salah satu yang terpenting bahwa bawang putih sulit untuk di produksi di Tanah Air karena kondisi iklim yang tak cocok.
Terbukti, selama ini produksi bawang putih dari tahun ke tahun masih terbilang rendah.
Sejak tahun 2012 hingga 2017 total produksi bawang putih berkisar antara 15 hingga 21 ribu ton. Di mana total produksi bawang putih sempat berada di 15,76 ribu ton pada tahun 2013 sekaligus mencatatkan posisi terendahnya dalam 10 tahun terakhir.
Namun tahun 2018 produksi bawang putih mengalami peningkatan 101,44% menjadi 39,3 ribu ton. Tak sampai disini, ternyata di tahun berikutnya produksi bawang putih meningkat hingga 125% menjadi 88,81 ribu ton.
Namun, sejak tahun 2020 hingga 2021 produksi bawang putih dalam negeri kembali mengalami penurunan. Masing masing 7,89% dan melanjutkan penurunan di 2021 mencapai 44,88%.
Berapapun 10 tahun ke belakang, setinggi apapun produksi dalam negeri tetap tak bisa memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia.
Bawang putih di Indonesia 95% didominasi oleh bawang putih impor dan lima persen dipenuhi dari produksi dalam negeri. Konsumsi bawang putih di Indonesia terus meningkat mengikuti laju pertumbuhan penduduk dan pendapatan. Kesenjangan inilah yang menyebabkan pemerintah melakukan impor bawang putih.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), kebutuhan konsumsi bawang putih nasional pada tahun 2020 sebesar 560 ribu ton. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tersebut pemerintah melakukan impor sebanyak 461 ribu ton. Impor bawang putih Indonesia berasal negara Cina, India, Taiwan dan Amerika Serikat.
Selain karena pandemi Covid-19, turunnya produksi bawang putih nasional disebabkan oleh menurunnya minat petani untuk menanam bawang putih karena masuknya bawang putih impor dalam jumlah besar dan tingkat harga yang lebih rendah sehingga produk bawang putih lokal kalah bersaing.
Harga bawang putih impor yang lebih rendah disebabkan karena produktivitas bawang putih di China lebih tinggi yaitu sebesar 25,3 ton per hektar, sementara produktivitas bawang putih local hanya sebesar 8,7 ton per hektar. sehingga biaya produksi per kg bawang putih di China menjadi lebih murah.
Selain faktor harga, pemerintah di Cina juga menerapkan kebijakan dumping untuk komoditi ekspornya termasuk komoditi bawang putih dengan harga di bawah biaya produksinya. Alasan lain konsumen di Indonesia lebih menyukai bawang putih impor karena ukuran umbinya yang lebih besar.
Berdasarkan wawancara mendalam dengan beberapa petani bawang putih di Temanggung, Jawa Tengah mereka merasa kesulitan bersaing dengan komoditas impor. Pasalnya, produk bawang putih dalam negeri ukurannya jauh jika dibandingkan dengan impor.
“Bawang putih yang dihasilkan kecil, kalah sama impor. Kalaupun bisa masuk pasar, ibu-ibu lebih memilih bawang putih impor karena tak mau repot waktu mengupas bawangnya, butuh waktu lama,” ungkap Budi salah satu petani bawang putih di Temanggung, Jawa Tengah kepada salah satu Tim Riset CNBC Indonesia.
Sulitnya bawang putih bersaing di pasar membuat turunnya minat petani untuk meningkatkan hasil usaha taninya. Sebagian besar dari mereka sulit untuk merasakan keuntungan yang besar karena di samping itu pestisida juga begitu mahal.
Saatnya Komoditas Impor Menjadi Perhatian Dalam Negeri
Upaya peningkatan produksi dapat dilakukan melalui upaya ekstensifikasi dan intensifikasi. Upaya ekstensifikasi dilakukan dengan menambah luas lahan penanaman bawang putih di provinsi-provinsi yang kondisinya mendukung untuk penanaman bawang putih terutama di luar Pulau Jawa.
Untuk provinsi-provinsi yang luas lahannya terbatas, upaya intensifikasi dapat ditempuh. Upaya peningkatan produksi perlu didukung dengan penggunaan input-input yang berkualitas tinggi terutama benih.
Sebagaimana yang diketahui benih merupakan input utama dalam produksi bawang putih sehingga penggunaan benih bersertifikat akan meningkatkan produktivitas bawang putih dalam negeri.
Kewajiban tanam 5% bagi para importir juga harus selalu dimonitor dan dievaluasi apakah sudah tercapai atau belum. Jika importer tersebut tidak bisa memenuhi kewajiban tanam tersebut maka kuota impor bawang putih yang diberikan kepada para importir tersebut harus segera dicabut.
Terakhir, pemerintah harus memperhatikan, menyeimbangkan, dan terus melakukan pemantauan agar kebijakan impor bawang putih jangan merugikan petani bawang putih dalam negeri. Meskipun, untuk saat ini kebijakan impor dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri dan menekan harga.
Upaya peningkatan produksi tersebut harus diikuti dengan upaya peningkatan kualitas mengingat bawang putih dalam negeri tidak bersubstitusi sempurna dengan bawang putih impor.
Meskipun, harus kita diakui bahwa selama ini kualitas bawang putih impor lebih baik dari kualitas bawang putih dalam negeri yang ditunjukkan dengan ukuran umbi bawang putih impor yang lebih besar dibandingkan umbi bawang putih dalam negeri.
Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20230124095633-4-407719/jangan-salahkan-impor-produksi-bawang-putih-ri-tak-memadai