Bisnis.com, JAKARTA – Isu harga pangan bukan semata masalah krusial di Indonesia, tetapi juga problem global. Sejak pandemi, harga pangan dunia sudah melambung tinggi akibat gangguan pada rantai pasok dan diperparah oleh konflik antara Rusia-Ukraina. Dalam aras pangan global, indeks harga pangan dunia mengalami anomali di mana terjadi penurunan selama 6 bulan berturut-turut sejak April hingga September.
Walau secara musiman turun, nilainya justru naik secara tahunan yaitu sebesar 5,5% dibandingkan bulan September tahun lalu. Kohesifnya perekonomian niscaya menghantarkan berkah atau justru malapetaka melalui berbagai macam saluran transmisi. Dunia yang tidak sedang baik-baik saja menjadi bayang suram ekonomi tahun depan.
Menjelang akhir tahun, sering kali kita dihadapkan pada harga komoditas pangan yang mulai merangkak naik. Salah satu pemicunya adalah momen Hari Raya Natal dan tahun Baru (Nataru), di mana volume permintaan barang lebih besar dibanding ketersediaannya. Pada kuartal IV/2022, pergerakan ekonomi Indonesia diyakini kian menanjak dan kembali menuju titik keseimbangannya.
Namun, kenaikan harga secara umum (inflasi) juga turut membuntuti. Tekanan inflasi pada bulan November 2022 melandai dari tingkat inflasi bulan sebelumnya, yaitu sebesar 5,42% (year-on-year/YoY). Ada sedikit penurunan dibanding Oktober yang di kisaran 5,71% (YoY). Disinyalir fenomena ini ditopang inflasi volatile food (VF) yang ditekan kuat menurun dengan pengendalian inflasi seluruh pihak di tengah inflasi administered prices (AP) yang masih tergolong tinggi. Sementara secara bulanan pada November tercatat mengalami inflasi sebesar 0,09% (MtM). Bila ditelisik, komponen yang perlu diwaspadai adalah pergerakan harga kelompok pangan bergejolak (VF).
Menjaga harga pangan bukanlah perkara mudah. Pasalnya, ada beragam faktor yang sangat sulit untuk dikendalikan. Salah satunya dari sisi permintaan pangan (demand side) yang tak terbatas, bahkan dapat terus meningkat baik skala nasional maupun global. Seiring dengan bertambahnya populasi, mau tidak mau kebutuhan pangan akan terus mengalami kenaikan. Adapun, dari sisi ketersediaan (supply side), faktor produktivitas hasil panen, cuaca atau bencana alam (natural disaster), sistem stok pangan, distribusi ikut memengaruhi stok pangan dan berujung kenaikan harga.
Saat ini, salah satu kebijakan yang diupayakan oleh pemerintah adalah subsidi logistik untuk meredam inflasi akibat fluktuasi harga pangan dan kenaikan BBM. Lebih dari itu, koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) juga berusaha untuk diperkuat. Maka Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (Gernas PIP) pun turut dicanangkan.
Pola meredam inflasi pangan dengan koordinasi antar lembaga negara dan pemerintah menjadi agenda penting sejak kuartal ke III. Relasi yang ingin dibangun tidak saja mengarus ke ruas berbagi informasi, tetapi juga dalam ruang analisis strategis yang akomodatif terhadap kenaikkan harga pangan dan kelangkaan pasokan pangan. Taruh saja Bank Indonesia bersama dengan TPIP dan TPID berkomitmen atas kendali inflasi nasional. Aksi nyatanya terlihat dari sinergi Gernas PIP yang serentak digelar. Diyakini Gernas PIP menjadi langkah bersama mengoptimalkan pengendalian inflasi dari sisi suplai dan mendorong produksi mendukung ketahanan pangan secara integratif, masif dan berdampak nasional. Pola aktivitasnya berupa perluasan kerjasama antar daerah, komitmen penyelenggaraan operasi pasar daerah rentan terhadap gejolak inflasi. Dalam jangka pendek, hal ini memang solusi yang tepat, tetapi belum cukup kuat menjangkar pada jangka panjang (sustainability). Ketergantungan pada pupuk impor, teknologi pertanian yang masih kurang maju di beberapa tempat, penurunan keragaman pangan, kurangnya investasi sektor pertanian, dan perubahan iklim menjadi masalah struktural yang perlu dibenahi dan diantisipasi. Niscaya tantangan ini membuka ruang untuk pengembangan food industry yang lebih berkualitas.
Meskipun demikian, optimisme bahwa Nataru adalah siklus historis kenaikkan harga pangan harus mampu diredam dengan kejelasan antisipasi. Misalkan melakukan antisipasi terukur dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di musim hujan yang menghambat proses produksi dan distribusi. Penanggulangan turunnya daya beli, perlu optimalisasi BTT dan Bansos dengan pendampingan dari aparat keamanan.
Meski usaha menekan harga pangan di tingkat konsumen jangan diartikan sebagai usaha menekan harga di tingkat petani. Untuk komoditas yang produksinya musiman perlu strategi pola tanam dan panen. Bagi komoditas yang mudah rusak/busuk, pemerintah sudah waktunya mengupayakan infrastruktur fisik stok penyangga, misalnya resi gudang.
Akhirnya, masalah keterjangkauan harga pangan perlu mendapat keseriusan baik dari sisi produksi (on farm) dan pascapanen (off farm), yaitu dari sisi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, rantai distribusi, dan sistem storage yang aman dan tetap menjaga kualitas pangan (institutional arrangement). Sinergitas pemerintah, pelaku bisnis dan petani sangat penting untuk menggarap dengan saksama struktur alur distribusi yang konsentris dan oligopolis pada sumber pasokan pangan, yaitu ketersediaan dalam negeri baik yang dicukupi dari dalam negeri maupun impor. Pada prinsipnya, harga (end user) merupakan representasi dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran (pasar).
Sedangkan untuk meramalkan mengenai permintaan dan penawaran harga pangan, di Indonesia perlu adanya basis data yang terintegrasi dan valid yang dapat dijadikan backbone telaah kebijakan. Termasuk data pelaku bisnis di bidang pangan yang masih dominan menguasai pasar (harga) yang belum mempunyai visi yang sama untuk menstabilkan harga pangan (just doing business).
Sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20221221/9/1610592/opini-keterjangkauan-harga-pangan-nasional